Jantungku
berdegub kencang firasatku semakin jelas, untuk mendekati ajalku. Iyya tidak
bisa tidak, genderang perang sudah ditabuh. Beberapa penari lenggak lenggok bak
pemandu sorak yang menyemagati kepergian kami menuju kemedan perang. Itulah
tarian perpisahan. Aku menatap sayu dari belakang kulihat kaki- kaki penari
itu.
Kilat lampu menyilaukan mataku, itulah cara mereka mngabadikan moment
bersejarah itu. Ah ,sungguh fikirku masih kacau, badanku kecut bak raga tanpa
nyawa. Pandangan kembali kosong. Aku terseret pada ingatanku waktu aku masih
kecil, memanggil-manggil ibu saat aku takut, tidak sampai disitu pikiranku
melayang pada sosok jelita asya, iyya asya binti zulkarnain namanya, yang dulu
sempat aku menaruh hati padanya. Sebuah teriakan membuyarkan lamunanku”Semangat
pantang mundur..”. kulihat isakan anak
kecil yang enggan berpisah dari dekapan ayahnya. Ayahnya yang tetep tersenyem
walau dalam hatinya dirundung kepedihan berpisah dengan anak dan keluarga yang
dicintainya, banyak orang yang menyalami kami dan melambaikan tangan untuk
kami, mataku nanar airmataku jatuh ditanah kelahiranku, Di tanah airku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo ingkang bade komen...